Apa yang aku pikirkan saat ini bukanlah seperti yang dulu lagi. Dulu aku lebih senang belajar seperti murid yang duduk di bangku SMP. Perlahan aku tumbuh besar meski tinggi badanku belum seberapa.He
“Jangan sedih gitu. Kakak bersyukur punya Adik secantik kamu”
“iih...kakak. Jangan bercanda gitu. Gak lucu tau”
“Hehehe.....Tu khan wajahmu jadi cemberut gitu.”
Setiap saat kakakku selalu menghiburku. Dia sangat baik dan perhatian. Bagiku dia bukan sekedar laki-laki yang ganteng dan berwibawa. Akan tetapi dia bekerja keras banting tulang untuk mencukupi kebutuhan kami berdua. Orang tua kami sudah lama berada di pangkuan Sang Pencipta. Aku sangat sedih dan terpukul ketika mengingat kembali kedua orang tuaku.
“Lho..Kok kamu sedih.”
“Ah..nggak kak. Mataku tadi kemasukan debu.”
Aku mengusap air mataku . Meratapi foto kedua orang tuaku sambil menahan goresan hati yang dalam. Aku berusaha untuk menenangkan hati.
“Ngomong-ngomong kamu udah putuskan blum? Ke mana kamu kuliah nanti?
“Ya. Kak. Nanti Nela mau masuk MIPA.”
“MIPA? Jurusan apa?”
“Matematika”
“Hmm....matematika ya. Jurusan itu membawa kenangan bagi kakak.”
“Kenangan apa kak. Critain donk.”
“Lain kali aja ya. Udah larut malam. Yuk tidur”
“Yah kaka. Baik ka. Met malam.”
****
Dan pagi harinya, aku bergegas menpersiakan diri untuk mengikuti tes penerimaan mahasiswa baru di gedung 3. Ya itulah nama gedungnya. Mungkin ada banyak sekali gedung-gedung yaitu tempat tes tersebut diadakan. Entah gedung 1, 2, 3, 4 dan 5 setahuku.
“Ayo, Nel...Kakak antarin. Nanti telat loh”
“Iya..ya.kak. Sabar.”
Kami pun berangkat bersama. Kakakku memboncengiku dengan sepeda motor walapun jaraknya tidak begitu jauh dari rumah kami.
“Kakak sampai sini saja ya nganterin Nela.”
“Mau ke mana kak?”
“Kakak ada urusan sebentar. Berjuang ya. Mudahan lancar tesnya. Bye.”
“Bye. Kak. Hati-hati di jalan.”
Aku memasuki lokasi tempat tes itu diselenggarakan yaitu di gedung 3. Gedung itu cukup besar dan memiliki halaman yang luas. Atap birunya mengkilap serasa menikmati pemandangan di lautan luas.
Tes itu akhirnya dimulai. Pertama kali kami diwajibkan mengisi formulir identitas diri dan program studi pilihan. Dengan rasa percaya diri yang mantap, Aku menjawab satu demi satu soal-soal dalam tes tersebut.
Akhirnya aku dapat menjawab soal-soal itu meskipun masih kurang yakin jawabanku itu hampir benar kemudian meninggalkan ruangan. Aku akan menanti hasilnya yang akan diumumkan besok.
****
Esoknya aku bangun lebih awal. Kulihat kakakku sudah bersiap-siap lebih awal lagi dariku.
“Mau kemana kak?”
“Oh kakak mau pergi. Hari ini kakak dapat tawaran kerja.”
“Alhamdulillah.Kak. Aku turut senang”
“Kakak duluan ya. Untuk jaga-jaga, Uang spp ada di belakang TV.
“Baik, ka. Hati-hati ya.”
“Assalamu’alaikum”
“Walaikum salam”
Setelah kakak pergi aku bergegas menuju ke kampus. Jaraknya hanya 150 meter dari rumahku. Jadi, aku hanya berjalan kaki menuju ke sana.
Kerumunan orang-orang sudah nampak disana menanti hasil tes akan diumumkan. Beberapa menit kemudian, papan pengumuman diletakkan di depan lapangan futsal di gedung 3. Perhatian semua orang terfokus pada papan yang berukuran besar itu. Satu demi satu aku mencari namaku tertera di papan itu.
“Ada!Namaku ada. Aku lulus tes....yeesssss!” pintaku dalam hati
Aku tak bisa menahan luapan bahagia saat aku benar-benar di terima di salah satu fakultas di perguruan tinggi yang tidak lain adalah
di rumah. Aku pulang lebih awal untuk memberitahu kabar baik ini pada kakak. Ya. Aku harap Matematika sebagai pilihan pertamaku. Aku tak bersabar lagi ingin menemui kakak kakak sudah pulang dan berada di rumah saat ini.
Entah kenapa Langkah kakiku terasa berat dalam perjalanan menuju ke rumah. Aku harap semuanya baik-baik saja.
Namun apa yang kulihat di depan rumahku. Sebuah mobil polisi bertengger di depan halaman rumahku. Dalam hati ku terus bertanya-tanya apa arti dari semua ini. Polisi-polisi itu menghampiriku.
“Nak..kamu tahu siapa pemilik rumah ini.”
“Ini rumahku, Pak”
“Nak..jadi kamu yang bernama Nela?”
“I...Iya, Pak. Saya sendiri. Ada apa pak?”
Menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh bapak polisi serasa membuatku gugup dan berkeringat dingin.
“Nak Nela..Kami dari pihak kepolisian ingin memberitahukan bahwa bus yang ditumpangi oleh kakakmu mengalami kecelakaan parah.”
“Tidak mungkin. Ini nggak benar kan pak polisi. Tolong katakan apakah kakakku baik-baik saja.”
“Kakakmu mengalami luka parah. Sekarang dirawat di RS Mulia.”
Hatiku terasa ingin pecah mendengar kabar buruk itu. Tanpa basa-basi, aku menuju ke RS Mulia menggunakan sepeda motor kakak.
Setiba di sana aku menuju ruang IGD. Sungguh ku tak percaya apakah ini benar atau hanya mimpi. Banyak korban kecelakaan yang kutemui seperti orang dewasa, wanita bahkan anak-anak ikut menjadi korban. Mereka menempati seluruh sisi ruangan dengan bersimbah darah. Ringisan kesakitan diderita oleh mereka bahkan tangisan mereka membuat jantungku berdetak cepat> Aku serasa mendapat tekanan batin yang mendera. Aku ketakutan dan terasa gemetaran. Satu-persatu kulihat orang-orang yang dirawat menjadi korban. Di manakah kakakku?
Aku sudah mencoba untuk mencari kakak baik di semua ruang rawat. Yang terakhir aku masuk ke ruang paling ujung. Di ruang rawat ini, Dokter dan perawat mengerumumi seorang pasien yang mengalami luka serius. Aku tak sanggup melihat pasien itu. Tapi diam-diam aku menatap wajahnya. Ternyata pasien itu adalah kakaku sendiri. Aku mendekap kakaku yang sedang terbaring lemah dan bersimbah darah.
“Kakaaaak.....T_T.(hiks...3)”
“Kak...bangun kak..Kakak tidak apa-apa kan kak.?”
Kakakku dalam kondisi tidak sadar. Dokter bilang kakakku mengalami patah tulang di bagian kaki dan cedera di bagian kepala.
“Dok...Lakukan sesuatu . Sembuhin kakakku, Dok. Tolong kakak saya.”
Kakakku tersadar dan memegang tanganku.
“Sudah, Nel. Cukup. Jangan nangis lagi.”
“Tapi kak....”
“Nel! Kamu harus kuat. Ini adalah cobaan dari Allah untuk kakak.”
“Kakak nanti pasti sembuh . Yakan kak?
Aku menatap kakak dengan rintihan tangis. Kakak terus menerus kesakitan dan berulang kali muntah darah.
“Nel....Jangan menangis lagi. Nela adikku. Kamu masih terlihat cantik..Uhuk...3”
“Kakak...Kakak...”
Kakakku sesaat terdiam. Bibirnya ingin mengucapkan sesuatu.”
“Laa.....ila....ha...ilallah.....”
Deru nafas kakak terhenti.
“Ka...Ka...Bangun ka...Kakak harus sembuh.”
Dokter dan perawat disampingku mengambil tindakan setelah melihat kakakku tidak sadarkan diri.
Dokter memeriksa denyut nadi dan jantung kakak.
“Inalillahi wa inalillahi rajiun”.
Aku berusaha menahan rasa perihkku serta air mata yang tak habis menetes. Kakak sudah pergi ke pangkuan sang Illahi. Kini hanya aku sendiri ditinggal pergi oleh kakakku. Aku tak tahu lagi. Yang aku renungkan hanyalah kepergian kakakku. Tapi.....Aku tak boleh sedih seperti ini terus. Aku harus kuat. Seminggu lagi adalah tibanya hari bagiku untuk masuk kuliah. Ya di FMIPA.
0 komentar:
Posting Komentar